Minggu, 10 Januari 2010

MODEL KONSEP TEORI - TEORI KEPERAWATAN



MODEL KONSEP dan TEORI KEPERAWATAN
Menurut Myra Estrin Levine
By : Sri Wahyuningsih, Dkk.




PENDAHULUAN

Perkembangan dari berbagai konsep dan teori dalam keperawatan berdasarkan kerangka konsep yang merupakan pandangan dan keyakinan (Paradigma)keperawatan, yaitu pandangan tentang keperawatan sebagai suatu kegiatan, manusia sebagai klain.

Paradigma keperawatan dengan empat komponen esensialnya, memberikan informasi tentang ruang lingkup cakup,batasan,dan esensi serta tujuan dan kemanfaatan dari perkembangn profesi keperawatan.

Adanya pembedaan berbagai teori keperawatan yang disampaikan oleh para ahli bukanlah perbedaan yang perlu diperdebatkan secara prinsip; perbedaan tersebut lebih dikarena adanya perbedaan pandangan pada istilah-istilah yang dipakai pada komponen-komponen yang membentuk PADARADIGMA KEPERAWATAN itu sendiri seperti : komponen manusia/klien, sehat dan kesehatan, masyarakat dan lingkungan, serta keperawatan sebagai bentuk pelayanan/asuhan.

Teori keperawatan menurut sevens (1984) adalah sebagai usaha menguraikan dan menjelaskan berbagai fenomena dalam keperawatan (dikutip dari Taylor c, dkk/1989). Teori keperawatan berperan dalam membedakan keperawatan dengan disiplin ilmu lain dan bertujuan untuk menggambarkan, menjelaskan, memperkirakan, dan mengontrol hasil asuhan atau pelayanan keperawatan yang dilakukan.

Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi agar mereka peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan tahu apa yang harus perawat kerjakan

GAMBARAN MODEL KONSEPTUAL KEPERAWATAN

Hampir semua model keperawatan yang diaplikasikan dalam praktik keperawatan professional menggambarkan empat jenis konsep yang sama, yaitu :

1. Orang yang menerima asuhan keperawatan
2. Lingkungan (masyarakat)
3. Kesehatan (sehat/sakit, kesehatan dan penyakit)
4. Keperawatan dan peran perawat (tujuan/sasaran, peran dan fungsi)

Model keperawatan dapat diaplikasikan dalam dalam kegiatan praktik, penelitian dan pengajaran, oleh karena itu model harus diperkenalkan kepada perawat atau calon perawat guna memperkuat profesi keperawatan khususnya dalam mengkoreksi pemikiran yang salah tentang profesi keperawatan seperti : perawat sebagai pembantu dokter,, oleh karena itu model harus diperkenalkan kepada perawat atau calon perawat guna memperkuat profesi keperawatan khususnya dalam mengkoreksi pemikiran yang salah tentang profesi keperawatan seperti : perawat sebagai pembantu

MODEL KONSEPTUAL KEPERAWATAN MENURUT FLORENCE NIGHTINGALE

1. Biografi Florence Nightingale

Selama perang berlangsung, Florence menghadapi pertempuran berat untuk meyakinkan para dokter militer bahwa para perawat wanita pun diperlukan di sebuah rumah sakit militer. Perang Crimea telah membongkar sistem kemiliteran Inggris yang ternyata mengirim ribuan prajurit untuk menjemput kematiannya sendiri akibat kekurangan gizi, penyakit, dan diabaikan. Sebanyak 60.000 prajurit Inggris dikirim ke Crimea. Sejumlah 43.000 meninggal, sakit, atau terluka, dan hanya 7.000 yang terluka oleh musuh.

Gambaran model konseptual keperawatan Florence Nightingale

a. Definisi keperawatan adl. Profesi untuk wanita dengan tujuan menemukan dan menggunakan hukum alam dalam pembangunan kesehatan dan pelayanan kesehatan. Ningtingale menegaskan bahwa keperawatan adl. Ilmu dan kiat yang memerlukan pendidikan formal untuk merawat orang yang sakit.
b. Tujuan tindakan keperawatan adl. Memelihara, mencegah infeksi, dan cedera, memulihkan dari sakit, melakukan pendidikan kesehatan serta mengendalikan lingkungan
c. Alasan tindakan keperawatan yakni Menempatkan manusia pada kondisi yang terbaik secara alami untuk menyembuhkan atau meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit dan luka.
d. Konsep individu adl. Merupakan kesatuan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual yang lengkap dan berpotensi.
e. Konsep sehat adl. Keadaan bebas dari penyakit dan dapat menggunakan kekuatannya secara penuh.
f. Konsep lingkungan adl. Bagian eksternal yang mempengaruhi kesehatan dan sakitnya seseorang.

GAMBARAN MODEL KONSEPTUAL KEPERAWATAN TOKOH YANG LAIN

Virginia Henderson

a. Definisi keperawatan Bantuan yang diberikan kepada individu baik dalam keadaan sehat maupun sakit dalam kegiatannya untuk mencapai keadaan sehat atau sembuh dari penyakit sehingga ia mempunyai kekuatan, keinginan dan pengetahuan.

b. Alasan tindakan keperawatan Pendekatan yang dilakukan untuk memenuhi 14 komponen dari keperawatan.

c. Konsep individu Keadaan biologi dimana tidak dapat dipisahkan antara pikiran dan jasmani.

d. Konsep sehat Kemampuan fungsi independent dalam hubungannya dengan 14 komponen.

e. Konsep lingkungan Tidak terdefinisi dengan jelas, dapat berupa tindakan positif maupun negatif.

Sister Callista Roy

a. Definisi keperawatan Suatu analisa proses dan tindakan sehubungan dengan perawatan sakit atau potensial seseorang untuk sakit.

b. Alasan tindakan keperawatan Aktifitas keperawatan berasal dari model dimana berupa proses pengkajian dan intervensi-intervensi peran diselenggarakan dengan konteks keprawatan dan termasuk manipulasi dari stimuli.

c. Konsep individu Keadaan biopsikososial yang berupa interaksi yang tetap dengan perubahan lingkungan, manusia bersifat sebagai system adaptif yang terbuka.

d. Konsep sehat Rentang sehat sakit merupakan garis yang terus menerus yang menunjukan status sehat atau sakit dimana sesorang butuh pengalaman dan waktu. Sehat sakit merupakan bagian dari hidup manusia.

e. Konsep lingkungan Suatu kondisi yang terus menerus dan mempengaruhi sekelilingnya dan perkembangan organisme serta group organisme.

Myra Estrin Levine
a. Definisi keperawatan Interaksi manusia yang berdasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang digunakan dalam proses keperawatan.

b. Alasan tindakan keperawatan Perawatan individu yang bersifat holistic untuk setiap kebutuhan seseorang, seseorang mendorong perawat untuk beradaptasi.

c. Konsep individu Interaksi dari individu yang bersifat kompleks antara lingkungan interna dan eksterna yang mengubah adaptasi.

Imogane M. King

a. Definisi keperawatan Suatu proses interaksi manusia antara perawat dan klien.

b. Alasan tindakan keperawatan Perawat dan klien saling mengamati dalam informasi, komuniksai, situasi, tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan.

c. Konsep individu suatu system terbuka mengenai penukaran masalah, energi dan dengan lingkungan yang terbatas.

d. Konsep sehat Aturan dinamik dari stressor dalam lingkungan eksternal dan internal melalui penggunaan optimal untuk mencapoai potensi maksimal dalam kehidupan sehari-hari.

e. Konsep lingkungan Suatu system terbuka yang menunjukkan penukaran masalah energi, informasi dengan keberadaan manusia.

Kesimpulan


Perawat bertanggung jawab sendiri untuk mengembangkan keperawatan menuju kearah yang benar, sesuai hakekat keperawatan. Sesungguhnya suatu pekerjaan yang berat, namun sangat mulia.

Saran

Keperawatan secara keseluruhan berada dalam gerakanpengadaan perubahan, menuju kepada suatu tingkat perkembangan sesuai sebagai hakekatnya sebagai suatu profesi. Perubahan yang terjadi disamping adanya tekanan yang bersifat internal, juga karna tekanan kebutuhan masyarakat dan pembangunan kesehatan, terutama dalam menuntut pelayanan yang benar, bermutu tuntas dan manusiawi. Hal yang demikian ini akan memacu perkembangan keperawatan selanjutnya, khususnya perkembangan pendidikan pelayanan/asuhan keperawatan.

Daftar Bacaan....

Husein, M. 1992, : ”Perkembangan keperawatan”, Makalah pelatihan kemampuan guru DIII dan SPK Dalam Pendayagunaan Laboratorium Keperawatan Institusi Pendidikan Keperawatan.
































MODEL KONSEP TEORI
menurut
Mira Estrin Levine (1967)



KELOMPOK 7
Anggota :

Sri wahyuningsih Anjar dwi wahyuni
Heni wahyuni




Departemen Kesehatan RI Poltekes Mataram
Prodi Kep Bima
Tahun Ajaran 2009/2010

Selasa, 05 Januari 2010

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

ASPEK – ASPEK HUKUM MALPRAKTEK DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.

Di negara-negara maju tiga besar dokter spesialis menjadi sasaran utama tuntutan ketidaklayakan dalam praktek, yaitu spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi dan spesialis kebidanan & penyakit kandungan. Maka disini perlu lebih diketahui lagi bagaimana aspek hukum dan upaya yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan malpraktek.
ASPEK HUKUM MALPRAKTEK DI INDONESIA

Dari permasalahan diatas, ada beberapa permasalahan yang terkait dengan “Aspek-Aspek Hukum Malpraktek di Indonesia” antara lain : “Bagaimanakah aspek hukum yang mengatur mengenai malpraktik di Indonesia serta Upaya apakah yang dapat dilakukan dalam rangka penegakkan hukum Malpraktik?”

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.

Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kekurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.

Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex” yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.

Tolak ukur culpa lata adalah:
1. Bertentangan dengan hukum
2. Akibatnya dapat dibayangkan
3. Akibatnya dapat dihindarkan
4. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Aspek hukum yang mengatur tentang malpraktek di Indonesia adalah;

1. UU RI No.29 thn. 2004 tentang praktek Kedokteran.
2. KUHP.
3. UUD 1945

Jadi malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar. Malpraktek medik murni (criminal malpractice) sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas.

Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
1. Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum
dikalangan profesi kedokteran.
2. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege
artis).
3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak
hati-hati.
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum. Jika dokter
hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka
ia hanya telah melakukan malpraktek etik.

Untuk dapat menuntut penggantian kerugian kerena kelalaian, maka penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut:

1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar

Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang tergugat. Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi “Res Ipsa Loquitur”, yang berarti faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokter lah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (kriminil), kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal oleh Negara.

Contoh Kasus :
1.Seorang dokter memberi cuti sakit berulang-ulang kepada seorang
tahanan, padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan
perkaranya. Dalam hal ini dokter terkena pelanggaran Kode Etik
Kedokteran (KODEKI) Bab-I pasal 7 dan KUHP pasal 267.
KODEKI Bab I pasal 7. “Seorang dokter hanya memberi keterangan atau
pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya”.

KUHP pasal 267. Dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan
palsu tentang adanya atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat,
dihukum dengan hukuman penjara selama 4 tahun.
2.Seorang penderita gawat darurat dirawat di suatu rumah sakit dan
ternyata memerlukan pembedahan segera. Ternyata pembedahan tertunda-
tunda, sehingga penderita meninggal dunia. Pelanggaran etik dan hukum
kasus ini ada 2 kemungkinan:
a.Jika tertundanya penbedahan tersebut disebabkan kelalaian dokter,
maka sikap dokter tersebut bertentangan dengan lafal sumpah dokter,
KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP pasal 304 dan 306. Lafal sumpah
dokter: ”Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita”.
KODEKI Bab II pasal 10: Seorang dokter wajib melakukan pertolongan
darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan.
KUHP pasal 304. “Barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau
membiarkan seseorang dalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi
kehidupan, perawatan dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku
baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,-”

KUHP pasal 306(2). ”.....Jika salah satu perbuatan tersebut
berakibat kematian, maka bersalah dihukum dengan hukuman perjara
selama-lamanya 9 tahun.”
b.Jika tertundanya pembedahan tersebut disebabkan keluarga penderita
belum membayar uang panjar untuk rumah sakit, maka rumah sakitlah
yang terkena pasal-pasal KUHP 304 dan 306, sedang dokter terkena
pelanggaran KODEKI.

Jadi walaupun kesadaran hukum meningkat akhir-akhir ini, namun untuk menegakkan hukum itu di tengah-tengah masyarakat, masih menghadapi hambatan-hambatan. Hambatan lain tentunnya, bahwa unsur-unsur penegak hukum kadang kala belum siap menangani kasus-kasus yang diajukan, karena terbatasnya pengetahuan dalam bidang medik dan belum adanya perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kasus-kasus yang diajukan.

Dalam etik sebenarnya tidak ada batas-batas yang jelas antara boleh atau tidak, oleh karena itu kadang kala sulit memberikan sanksi-sanksinya. Di negara-negara maju terdapat Dewan Medis (Medical Council) yang bertugas melakukan pembinaan etika profesi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap etik kedokteran.

Di Negara kita IDI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian, MKEK ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter maupun masyarakat. Masih banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh MKEK. Oleh karena fungsi MKEK ini belum memuaskan, maka pada tahun 1982 Departeman Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat pula di pusat dan di tingkat propinsi.

Tugas P3EK ialah menangani kasus-kasus malpraktek etik yang tidak dapat ditanggulangi oleh MKEK, dan memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat berwenang. Jadi instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik ialah MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK Propinsi dan jika P3EK Propinsi tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK Pusat. Begitu juga kasus-kasus malpraktek etik yang dilaporkan kepada propinsi, diharapkan dapat diteruskan lebih dahulu ke MKEK Cabang atau Wilayah. Dengan demikian diharapkan bahwa semua kasus pelanggaran etik dapat diselesaikan secara tuntas.

Tentulah jika sesuatu pelanggaran merupakan malpraktek hukum pidana atau perdata, maka kasusnya diteruskan kepada pengadilan. Dalam hal ini perlu dicegah bahwa oleh karena kurangnya pengetahuan pihak penegak hukum tentang ilmu dan teknologi kedokteran menyebabkan dokter yang ditindak menerima hukuman yang dianggap tidak adil.

KESIMPULAN

Malpraktek dalam kaitan dengan standard profesi kedokteran ada berbagai perumusan dari ahli hukum yaitu bahwa berbuat secara teliti/seksama berdasarkan ukuran medik. Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim di pergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Dimana sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dalam sarana yang sama dan kondisi yang sama. Upaya yang sebanding dengan tujuan konkrit tindakan perbuatan medik tersebut.

Aspek hukum yang mengatur tentang malpraktek di Indonesia adalah :

1.UU RI No.29 thn. 2004 tentang praktek Kedokteran
2.KUHP
3.UUD 1945

Upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan masalah malpraktek diatur dalam ketentuan pidana dalam UU praktek Kedokteran No.29 tahun 2004. Seorang dokter yang melakukan malpraktek harus memerlukan pembuktian. Adanya unsure kelalaian (Culva Lata) dan juga adanya akibat fatal dari malpraktek tersebut dapat dipidana.


DAFTAR BACAAN

• Dr. Bahder Johan Nasution, S.H., S.M., M.Hum. Hukum Kesehatan
Pertanggung Jawaban Dokter
, Jakarta; 2005, RINEKA CIPTA
• Koeswadji, Hermien Hardiati. Hukum dan Masalah Medik.
Surabaya;1984, Airlangga University Press
• Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta; 1991,
Grafikatama Jaya.
• Komalawati, D. Veronica. Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter,
Jakarta; 1989, Sinar Harapan.

Senin, 04 Januari 2010

KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN

Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pelayanan Kesehatan
Menyongsong AFTA 2003

Oleh Prof Dr dr HM Ahmad Djojosugito SpB SpBO MHA FICS
(Dirjen Yanmed Depkes & Kessos)
Senin, 16 Apr 2001 14:58:35

Pendahuluan

Bidang kesehatan yang paling terpengaruh oleh dampak globalisasi, yakni antara lain bidang perumahsakitan, tenaga kesehatan, industri farmasi, alat kesehatan dan asuransi kesehatan.

Dibidang perumahsakitan misalnya, manajemen pelayanan kesehatan belum efisien. Mutunya masih relatif rendah. Disinilah justru letak keunggulan rumah sakit swasta asing yang telah terbiasa bekerja dengan sistem manajemen profesional. Kehadiran rumah sakit swasta asing akan menguntungkan kelompok konsumen tertentu karena mempunyai lebih banyak pilihan pelayanan kesehatan yang kian bermutu, namun rumah sakit swasta nasional akan tersaingi dan kesenjangan pelayanan kesehatan antara kelompok yang mampu dan yang kurang mampu akan menjadi lebih lebar.

Oleh karena itu upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah langkah terpenting untuk meningkatkan daya saing usaha Indonesia di sektor kesehatan. Hal ini tidak ringan karena peningkatan mutu tersebut bukan hanya untuk rumah sakit saja tetapi berlaku untuk semua tingkatan pelayanan kesehatan mulai dari Puskesmas Pembantu dan Puskesmas, baik di fasilitas pemerintahan maupun swasta.

Isu AFTA 2003 dan globalisasi mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar akan semakin didominasi oleh perusahaan atas organisasi bisnis yang mampu memberikan pelayanan atau menghasilkan produk unggulan yang memiliki daya saing tinggi dalam memanfaatkan peluang pasar, keadaan ini berlaku bagi industri perumahsakitan di Indonesia.

Pelayanan rumah sakit telah berkembang menjadi industri yang berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi. Salah satu ciri menonjol adalah sifat kompetitif yang menjadi basis pengembangan untuk pelayanan rumah sakit. Tanpa basis ini, sulit bagi rumah sakit Indonesia terutama di kota-kota besar untuk bersaing dengan pelayanan oleh rumah sakit luar negeri, termasuk di tingkat Asia Tenggara sekalipun. Kenyataan telah kita alami bahwa sudah ada pasien dari Indonesia mencari pelayanan di luar negeri. Pada tahap berikutnya rumah sakit asing beroperasi di Indonesia atau paling tidak meningkatkan investasi asing dalam sektor pelayanan kesehatan di Indonesia.

Di bawah tekanan masih rendahnya rata-rata pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, rumah sakit menghadapi masa tanda tanya. Benarkah dalam menghadapi era perdagangan bebas nanti pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya pelayanan rumah sakit mampu mengatasi desakan investasi asing.
Masyarakat di Indonesia saat ini dan pihak asuransi (the paying partners) nantinya ingin mengetahui dengan lebih akurat dan reliable tentang nilai yang diperoleh atas biaya yang telah dikeluarkan untuk pelayanan rumah sakit.

Bersamaan dengan itu rumah sakit juga dituntut untuk memberikan perhatian yang cukup terhadap prinsip ekuiti, efisiensi, efektivitas, kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan baik internal maupun eksternal.

Permasalahan yang Mempengaruhi Pelayanan Medis Rumah Sakit
Lingkungan politik, ekonomi dan sosial yang serba tidak menentu sebagai dampak berkepanjangan dari krisis multidimensional di negara ini, mengakibatkan organisasi milik pemerintah maupun swasta sulit menentu arah perkembangan di masa mendatang. Bahkan untuk beberapa di antara organisasi tersebut yang menjadi masalah bukannya perkembangan, tetapi bagaimana organisasinya bisa tetap hidup di tengah berbagai tantangan mulai dari desentralisasi sampai globalisasi dan liberalisasi perdagangan. Demikian pula hal yang terjadi pada banyak fasilitas pelayanan medik milik pemerintah maupun swasta.

Kenyataan yang kini dihadapi di negara ini berikut dengan aneka ragam permasalahannya, menurut organisasi untuk beradaptasi terhadap berbagai perubahan lingkungan yang perlu diakomodasikan demi kelangsungan hidup organisasi, maupun perkembangan selanjutnya.

Permasalahan pokok yang dihadapi oleh Sistem Pelayanan Medik, antara lain adalah:

1. Ada kesenjangan antara kebutuhan dan permintaan terhadap pelayanan rumah sakit. Dibandingkan negara-negara tetangga, jumlah tempat tidur rumah sakit di Indonesia relatif masih rendah, yaitu 60 tempat tidur RS per 100.000 penduduk, atau ke-8 paling rendah di dunia dalam rasio tempat tidur dibandingkan jumlah penduduk. Angka ini di Indonesia hampir relatif tak berubah sejak 10 tahun terakhir. Sebenarnya kebutuhan riil akan pelayanan kesehatan di Indonesia sangat besar. Ini tercermin dari derajat kesehatan yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Angaka kematian ibu masih sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup.

Walaupun pasokan tempat tudur rumah sakit masih sangat rendah, ternyata pemakaian tempat tidur juga masih rendah. Bed Occupancy Rate (BOR) hanya sekitar 55-57 persen selama 10 tahun terakhir. Rata-rata tiap hari dari 100.000 penduduk hanya 30 orang yang sedang dirawat di rumah sakit. Data di atas menunjukkan bahwa kebutuhan yang tinggi ini tak diiringi dengan permintaan yang tinggi.

2. Menurunnya hari-hari rawat sebesar 12,3 persen pada ruang rawat kelas III RSU pemerintah untuk pasien miskin selama dekade terakhir, ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat yang menurun di samping ketidakjangkauan pembiayaan, padahal setiap tahunnya total hari rawat meningkat 1 persen.

3. Jenjang rujukan antara Puskesmas dengan semua kelas RSU tidak berjalan secara hierarkis sesuai kebutuhan. Begitu pula rujukan antara RSU kelas A, B, C, dan D, tidak berjalan secara efektif dan efisien. Pemerataan mendapatkan pelayanan medik yang bermutu, efisien dan berkesinambungan belum dirasakan oleh masyarakat luas.

4. Hampir 50 persen dari masyarakat yang mempunyai keluhan sakit sama sekali tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan formal. Sebagian besar dari mereka melakukan pengobatan sendiri, sedangkan sisanya berobat ke dukun atau bahkan sama sekali tidak berobat.

5. Adanya perbedaan pemahaman antara pejabat / instansi di pusat dan daerah tentang hakekat otonomi daerah di bidang kesehatan. Masalah ini sangat berkaitan erat dengan masalah sosialisasi dan kebutuhan tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan yang baru.

6. Konflik kepentingan antara pusat dan daerah adalah keberaneka ragaman dan kelokalan. Sementara pengalaman masa lalu lebih didominasi oleh wajah tunggal dalam segala bidang dengan pola penyeragaman dan terpusat. Keanekaragaman dan kelokalan itu dapat terlihat dari:

7. Peraturan daerah dan Sumberdaya daerah Kemungkinan akan semakin melebarnya jurang kesenjangan di bidang kesehatan (Pelayanan Medis) karena adanya perbedaan antara daerah yang kaya dan daerah yang miskin dilihat dari pendapatan daerah, juga antara daerah yang memiliki (concern) secara politis tinggi dengan yang perhatiannya rendah.

8. Rumah Sakit Pendidikan beban ganda pendidikan dan pelayanan, kepemimpinan ganda Depdikbud-Depkes, karena masalah Rumah Sakit pendidikan menjadi beban Rumah Sakit karena mahasiswa menjadi beban pembiayaan Rumah Sakit (subsidi pendidikan masih tinggi).

9. Pemerintah belum mampu menjamin pengadaan darah yang aman dan memadai.

10. Rumah Sakit masih terlalu besar mensubsidi PT Askes dengan tarif ditetapkan oleh Askes dengan adanya SKB 2 menteri. Jadi perlu ditinjau kembali kerjasama Askes dengan Rumah Sakit / Puskesmas.

Dari permasalahan di atas dapat ditentukan 11 pokok isu strategis, yaitu:

1. Rendahnya pemanfaatan fasilitas medik oleh masyarakat karena masih rendahnya keterjangkauan secara biaya, geografis dan pengetahuan;

2. Adanya kesenjangan anatara kebutuhan dan permintaan terhadap pelayanan medik yang tersedia;

3. Kesenjangan pelayanan medik antara daerah;

4. Kerjasama lintas sektor, lintas program dan lintas unit dalam pembangunan kesehatan masih belum optimal;

5. Mekanisme pasar yang tidak terkendali di kota/kabupaten sebagai dampak negatif globalisasi dan perubahan yang cepat dari masyarakat;

6. Desentralisasi manajemen pelayanan kesehatan masih lebih banyak ditentukan oleh suprasistem di luar Depkes;

7. Ditjen Pelayanan Medik belum memiliki konsep desentralisasi;

8. Mutu SDM yang kurang profesional;

9. Reformasi sistem pelayanan medik yang berazaz demokrasi, akuntabilitas dan transparansi belum tercapai;

10. Kurangnya pemberdayaan masyarakat dalam sistem pelayanan medik;

11. Sistem rujukan pelayanan medik yang belum berjalan secara efektif dan efisien.

Kesebelas isu strategis tersebut berkaitan dengan : mutu, efisiensi, keadilan dan pemerataan pelayanan medik.


Reorientasi Konsep Pelayanan Rumah Sakit

Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi pada aspek negatif penyakit (angka kesakitan, angka kematian, angka kecacatan), paradigma baru pengembangan pelayanan rumah sakit memasuki millenium III berorientasi pada nilai positif kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin, pengurangan penderita fisik dan kejiwaan serta peningkatan martabat dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun mengidap penyakit kronis dan fatal.

Kesehatan dipandang sebagai sumber daya yang memberikan kemampuan pada individu, kelompok, dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mengelola bahkan merubah pola hidup, kebiasaan dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan arah pembangunan kesehatan kita yang meninggalkan paradigma lama menuju paradigma sehat, dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010.

Mengembangkan RS menjadi suatu "Institusi Sehat" menghasilkan:

• RS yang semula adalah "wahana penyembuhan" perlu berubah menjadi "wahana pemeliharaan kesehatan" bagi seluruh anggota atau "kekuatan keluarga".

• RS harus mampu berubah bentuk dan sistem pelayanannya sesuai dengan tuntutan kliennya yang tidak lagi harus orang atau penduduk sakit, tetapi adalah manusia atau penduduk sehat yang ingin tetap sehat.

Karena sifatnya pemeliharaan, maka RS bukan lagi hanya menjadi "rumahnya orang yang sedang sakit akan tetapi juga menjadi suatu "tempat pemeliharaan kesehatan yang menyenangkan" juga meliputi orang sehat. Implikasi yang paling penting dari dampak reformasi ini adalah dihasilkannya reorientasi pelayanan rumah sakit serta pemberdayaan terhadap pasien dan karyawannya.

Pelayanan Medis Prima

Departemen Kesehatan pada tahun 1999 mengeluarkan kebijakan mengenai pelayanan prima untuk mengantisipasi masalah dan tantangan di bidang pelayanan kesehatan. Di bidang perumahsakitan pelayanan kepada pasien berdasarkan standar keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan kepada rumah sakit. Melalui pelayanan prima rumah sakit diharapkan akan menghasilkan keunggulan kompetentif (competentif advantage) melalui pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif dan menghasilkan customer responsiveness.

Cara pandang pelayanan prima adalah:

1. Karyawan medik, paramedik, dan karyawan lain merupakan aset terpenting rumah sakit yang harus diberdayakan. Mutu proses pelayanan kesehatan hanya akan dapat meningkatkan kalau karyawan mempunyai komitmen dan kompeten dalam pekerjaannya.

2. Efisiensi rumah sakit merupakan prasyarat pelaksanaan yang bertanggung jawab atas misi sosial yang diemban. Efisiensi dapat dicapai tidak hanya dari upaya manajerial. Efisiensi proses pelayanan akan mampu meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

3. Inovasi pelayanan medis rumah sakit melalui pemanfaatan teknologi tepat guna yang cost effective dan strategi diferensiasi pelayanan adalah suatu cara untuk merebut pasar. Pemanfaatan teknologi tepat guna dan diferensiasi teknologi maju akan menghasilkan pemberdayaan profesional untuk komitmen pada visi.

4. Kunci sukses pengelolaan rumah sakit sebagai badan usaha terletak pada bagaimana mengelola sifat self developing, self governing, dan self disciplining dari profesional agar terjadi pemberdayaan profesional untuk melaksanakan pemberdayaan customer, sehingga terjadi pelayanan prima.

5. Mutu proses pelayanan rumah sakit akan meningkatkan kepuasan pengguna pelayanan kesehatan. Nilai-nilai kepuasan pengguna harus diperhatikan dengan baik, sehingga akan menghasilkan pemberdayaan para pengguna (customer responsiveness). Kepuasan para pengguna akan memicu kesuksesan dalam keuangan secara berkesinambungan.

6. Kesuksesan dalam bidang ekonomi akan memungkinkan rumah sakit berbuat banyak untuk mewujudkan berbagai misi, termasuk melindungi orang miskin, menjadi tempat bergantung hidup anggota organisasi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Lebih lajut, kesuksesan ekonomi (keuangan) akan meningkatkan mutu proses pelayanan dan komitmen sumber daya manusia.

7. Pelayanan kesehatan, memiliki tiga fungsi yang saling berkaitan, saling berpengaruh dan saling bergantungan, yaitu fungsi sosial (fungsi untuk memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat pengguna pelayanan kesehatan ), fungsi teknis kesehatan (fungsi untuk memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat pemberi pelayanan kesehatan) dan fungsi ekonomi (fungsi untuk memenuhi harapan dan kebutuhan institusi pelayanan kesehatan).
Ketiga fungsi tersebut ditanggung jawab oleh tiga pilar utama pelayanan kesehatan yaitu, masyarakat (yang dalam prakteknya dilaksanakan bersama antara pemerintah dan masyarakat), tenaga teknis kesehatan (yang dilaksanakan oleh tenaga profesional kesehatan) dan tenaga adminstrasi/manajemen kesehatan (manajemen/ adminstrator kesehatan).

Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang memuaskan harapan dan kebutuhan derajat masyarakat (consumer satisfaction), melalui pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan yang memuaskan harapan dan kebutuhan pemberi pelayanan (provider satisfaction), pada institusi pelayanan yang diselenggarakan secara efisien (institutional satisfaction). Interaksi ketiga pilar utama pelayanan kesehatan yang serasi, selaras dan seimbang, merupakan paduan dari kepuasan tiga pihak, dan ini merupakan pelayanan kesehatan yang memuaskan (satisfactory healty care).

Dalam menghadapi persaingan, maka rumah sakit harus meningkatkan program peningkatan kualitas dan evaluasi secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip utama yang melandasi program peningkatan kualitas dan evaluasi adalah:

1. Customer Focus

o Perhatian rumah sakit difokuskan pada pengguna, baik internal mapun eksternal.
o Kewajiban dan hak pengguna telah ditetapkan, jelas dikomunikasikan dan dilaksanakan.
o Umpan balik pengguna, diteliti dan digunakan untuk melakukan perbaikan.

2. Kepemimpinan (Leadership)

o Kepemimpinan harus tampak di lingkungan rumah sakit
o Nilai-nilai rumah sakit tercermin dalam praktek
o Pelayanan rumah sakit terkoordinasi dengan baik

3. Perbaikan Kinerja Rumah Sakit

o Pencapaian misi dan tujuan organisasi harus terukur
o Hasil-hasil yang dicapai digunakan untuk peningkatan kinerja
o Perbaikan yang terus menerus harus menjadi perhatian untuk rumah sakit.
o Kegiatan perbaikan yang berkelanjutan melibatkan setiap orang.

4. Outcome dan Perbaikan-Perbaikan

o Setiap standard memiliki outcome yang diharapkan.
o Outcome yang ditetapkan haurs dapat dipenuhi.
o Ada bukti-bukti perbaikan outcome.

5. Upaya penerapan Best Practice

6. Pelayanan medik rumah sakit harus sesuai stadard dan kode etik.

7. Rumah sakit memanfaatkan informasi dari majalah ilmiah, seminar- seminar dan kerja sama dengan pihak lain untuk meningkatkan kinerja.

8. Tersedia data yang menjelaskan bahwa rumah sakit telah menerapkan pelayanan medis terbaik (best practice).


Salah satu strategi penting untuk melakukan evaluasi peningkatkan kualitas pelayanan medik rumah sakit adalah melalui standarisasi dan akreditasi.

Walaupun penilaian outcome pada akreditasi rumah sakit baru dimulai dengan empat clinical indicators dan baru pada beberapa rumah sakit yang mengakui akreditasi 12 pelayanan, namun diharapkan bagi rumah sakit-rumah sakit yang telah terakreditasi program akreditasi ini dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan program pengendalian mutu untuk menghasilkan outcome yang baik dari berbagai pelayanan, termasuk pelayanan medis.

Departemen Kesehatan akan terus bekerjasama dengan berbagai stakeholder terkait untuk mengoptimalisasikan akreditasi RS. Pelaksanaan akreditasi oleh badan akreditasi yang independent berbasis outcome, difokuskan pada kebutuhan dan harapan customer dan dengan komponen pelayanan yang menjawab EEQS (Equity, Efficiently, Quality and Sustainability), agar RS dapat bersaing di tingkat regional bahkan internasional.

Untuk mengatasi kesenjangan antara kondisi pelayanan medik di Indonesia dengan keunggulan rumah sakit swasta asing, rumah sakit-rumah sakit di Indonesia perlu melakukan aliansi strategi. Aliansi bertujuan untuk memperoleh keunggulan kompetitif, meningkatkan fleksibilitas untuk mengantisipasi perubahan-perubahan pasar dan teknologi.

Aliansi dalam sistem pelayanan kesehatan digolongankan ke dalam dua jenis:

• Aliansi lateral: berbagai jenis organisasi serupa berkumpul bersama mengambil keuntungan dari sumber daya yang dikumpulkan sehingga dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan setiap anggota yang pada gilirannya meningkatkan seluruh jaringan.

• Aliansi integratif: organisasi-organisasi pelayanan kesehatan bekerjasama dengan tujuan utama untuk memperkuat posisi pasar dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Integrasi ke hilir berupa hubungan dengan praktek dokter bersama, home care (ambulatory) ataupun dengan pengelola asuransi. Integrasi ke hulu dapat berupa hubungan dengan pabrik farmasi, pembuangan alat-alat kedokteran, sekolah-sekolah perawat, jaringan laboratorium klinik sampai ke dunia pendidikan kedokteran.
Reorientasi Pelayanan Medis Rumah Sakit Menghadapi AFTA 2003

Untuk menghadapi AFTA 2003 diperlukan kesungguhan dan keterlibatan semua stakeholder terkait karena beragamnya faktor-faktor, baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi ketahanan kita untuk bersaing di bidang pelayanan rumah sakit, khususnya pelayanan medis.

Mekanisme pasar pada saatnya nanti membutuhkan keunggulan kompetitif di bidang pelayanan medis yang mengacu pada kebutuhan lokal dan berorientasi pada standar internasional.

Konsep dan Kebijakan Rumah Sakit Pra dan Era Global

Pra Global:

• RS adalah Lembaga Sosial
• Anggaran dari Pemerintah
• Pembayaran Langsung
• Sistem Pembayaran fee for service
• Upaya lebih ditekankan pada kuratif dan rehabilitatif
• Terpisah dari sistem pelayanan medik wilayah Dati II
• Kebijakan standar untuk semua RS
• Manajemen mutu bukan inti kegiatan
• Berorientasi pada dokter

Era Global:

• RS adalah industri jasa
• Anggaran dari masyarakat
• Pembayaran dari masyarakat
• Sistem pembayaran kapitasi
• Upaya paripurna dari promotif sampai dengan rehabilitatif
• Merupakan bagiaan dari sistem pelayanan medik Dati II
• Kebijakan standar berbeda untuk urban dan rural
• Manajemen mutu menjadi inti kegiatan rumah sakit
• Berorientasi pada komsumen


KESEIMPULAN.

Konsep dan strategi pembangunan rumah sakit mampu menuju tercapainya pelayanan prima dalam manghadapi era global (AFTA 2003):

1. Meningkatkan Daya Saing Rumah Sakit

o Kebijakan pemerintah diarahkan untuk memberdayakan rumah sakit agar mampu mandiri, dengan regulasi dan desentralisasi. Peran pemerintah adalah steering bukan rawing, dengan tugas antara lain memantau dan mengevaluasi standar kualitas pelayanan rumah sakit melalui stakeholder di tingkat provinsi dan Dati II dengan melalui akreditasi.

o Anggaran pemerintah diprioritaskan bagi rumah sakit yang tidak mampu untuk mandiri dan untuk daerah-daerah Indonesia Bagian Timur.

o Pengembangan metropolitan dan megapolitan diikuti dengan pengembangan kebijakan yang mengatur rumah sakit di urban dan rural area sebagai pusat pelayanan medik dengan Puskesmas sebagai satelit dan binaannya.

o Organisasi rumah sakit dikembangkan menjadi customer oriented organization dengan peningkatan kualitas pelayanan medik dan non medik untuk memenuhi tuntutan dan kepuasan konsumennya.

o Pengembangan aliansi strategis (aliansi lateral atau integratif).

o Kualitas pelayanan rumah sakit diukur dengaan standar ASEAN (bench marking), sehingga pada tahun 2003 rumah sakit di Indonesia sudah sejajar dengan rumah sakit ASEAN lainnya.

2. Peningkatan Profesionalisme SDM Pelayanan Medik

o Profesionalisme tenaga medik dikembangkan melalui Komite Medik yang ada di rumah sakit, ikatan profesi, fakultas kedokteran dan lembaga perizinan dokter.

o Profesionalisme tenaga perawat dikembangkan melalui Komite Keperawatan di rumah sakit, fakultas keperawatan, ikatan profesi dan Departemen Kesehatan.

o Profesionalisme manajer rumah sakit dikembangkan melalui proses pendidikan, pelatihan dan ikatan profesi.

o Profesionalisme tenaga non medik dikembangkan melalui gerakan total quality management yang mengacu pada proses kecil untuk kelancaran organisasi.

3. Management of Change

o Perubahan rumah sakit dari lembaga sosial menuju lembaga bisnis kompetitif tanpa mengurangi fungsi sosial.

o Rumah Sakit berorientasi pada konsumen dan kualitas pelayanan.

o Orientasi perubahan adalah jangka panjang dan bukan jangka pendek, sehingga management of change ini lebih tepat dilakukan oleh profesi rumah sakit bekerja sama dengan Departemen Kesehatan.
Management of change dilakukan secara integrated meliputi behavior, structural and technical.

PELAKSANAAN UJIAN AKHIR PROGRAM PRODI D-IV BIMA

Ujian Sdr. Ummu Sholeha Prodi D-IV Keperawatan Bima Jurusan Keperawatan adalah salah satu prodi yang berada dalam lingkup Poltekkes Mat...